Kamis, 27 Oktober 2011

KISAH MEMBACA SEORANG “YOGI BUKU” Oleh : Ferry T. Indratno

. Kamis, 27 Oktober 2011
0 comments

Judul Buku : Dari Buku Ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu
Penulis : P. Swantoro
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : I
Tahun terbit : 2002
Jumlah halaman : XXV + 435 halaman

Bagi polycarpus swantoro yang ahli sejarah dan jurnalis senior, membaca buku seolah-olah seperti berolah yoga. Sebagaimana seorang empu keris yang bekerja dalam waktu yang lama untuk membuat keris yang ringan dari bahan yang bobotnya puluhan kilogram, seperti itu pulalah yang dilakukan oleh P. Swantoro.
Bedanya, P. Swantoro tidak melakukan pekerjaan menempa besi, tetapi membaca buku. Tentu saja ada ribuan judul buku yang sudah dibaca pak Swan. Namun, dalam bukunya yang berjudul Dari Buku Ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu ini “hanya” 200 judul buku yang ia “kisahkan”. Dengan cara yang menawan ia mengisahkan bagaikan seorang kakek yang baru pulang dari berkelana di negeri yang jauh. Kemudian menceritakan pengalamannya kepada anak cucunya.
Sebagai seorang pengelana di dunia buku, tidaklah mengherankan jika buku – buku yang ia kisahkan merupakan buku – buku babon yang tua dan cukup langka. Misalnya, The History Of Java karya Thomas S. raffles yang terbit tahun 1817, inleiding tot de hindoe javaanche kunst karya N.J. Krom yang terbit tahun 1919 atau de ljombok Kxpedia karya W. Cool yang terbit tahun 1896. Memang, di sana-sini untuk keperluan pendukung data, Pak Swan juga menggunakan cukup banyak sumber sekunder. Sebenarnya, hal ini agak mengganggu. Ketika membahas PKI. Misalnya, Pak Swan sebenarnya perlu menggunakan sumber yang lebih memadai.
Tema yang diangkatpun beraneka ragam , mulai dari cerita tentang lambang-lambang kota di Indonesia, cerita tentang penulis pertama buku komunis di Indonesia, cerita Pak Poerwa, cerita tentang meletusnya gunung merapi, cerita tentang para orientalis dan sarjana Indonesia, romantika para pendiri bangsa, serta ditutup dengan khayalan Pak Swan agar para pemimpin dan intelektual masa kini dapat beryogi. Bagi para pembaca “pemula”, tema yang tumpah tindih tanpa sistematika yang jelas ini cukup merepotkan.
Dalam membicarakan suatu bab, Pak Swan sering meloncat-loncat kian kemari. Kata demi kata mengalir tanpa jelas muaranya. Misalnya, ketika membicarakan Teeuw, Yogi Sastra, Yogi Keris, Yogi Ilmu, pembaca benar-benar dituntut cermat untuk menginterpretasikan benang merah ide tulisan-tulisan ini. Namun, jika kita bersabar untuk menikmati buku ini sampai habis, tentu kita dapat menemukan keseluruhan ide Pak Swan dan kebingungan yang muncul di Bab demi bab akan terjawab.
Buku Pak Swan ini mengingatkan kita pada tiga jilid buku Nusa Jawa Silang Budaya Karya Denys Lombard. Tulisan Lombard juga mengabaikan kronologi waktu yang merupakan syarat untuk menulis sejarah konvensional. Namun, kecurigaan bahwa buku Pak Swan menggunakan pola yang sama dengan buku denys Lombard tidak terbukti mengingat dalam menulis buku ini pak Swan lebih mengandalkan memorinya, seperti pengakuan pak swan sendiri dalam pengantar : Karena mengandalkan memori, tentu saja tulisan yang dihasilkannya menggunakan pola penceritaan lisan.
Buku ini lebih merupakan buku sejarah walaupun temanya beraneka ragam. Pembaca yang baru akan masuk ke wacana sejarah Indonesia, akan sangat terbantu dengan membaca buku ini terlebih dahulu. Demikian pula para mahasiswa jurusan sejarah.
Buku ini sebenarnya akan lebih sempurna jika penulisnya, disamping membicarakan cara pandang para orientalis barat, juga memberikan contoh buku-buku yang memuat cara pandang timur. Sekadar contoh, dijelaskan tentang sebutan “Timur Tengah” untuk wilayah Negara di jazirah arab. Mengapa orang Indonesia tidak menyebutnya sebagai “Barat Dekat”, misalnya? Bukankah sebutan “Timur tengah” adalah sebutan orang barat yang melihat jazirah arab dari sudut pandang wilayahnya?pandangan seperti ini sangat diperlukan bagi para mahasiswa sejarah di Indonesia yang tampaknya semakin kesulitan membaca buku-buku sumber utama.
Untuk keperluan studi para mahasiswa sejarah, akan sangat menggembirakan jika Pak Swan menceritakan juga buku orientalism karya Edward W.Said yang terbit tahun 1979. Selain itu sebaiknya buku yang berisi sikap kita terhadap tradisi barat yang berjudul Oksidentalisme karya Hassan Hanafi yang diterbitkan Paramadina, Jakarta, tahun 2000 juga dibicarakan.
Hal lain yang belum dibahas secara lengkap oleh pak Swan sebagai seorang ahli sejarah dan pemerhati kebudayaan jawa adalah tentang historiografi jawa. Prof. C.C.Berg memang sempat dimunculkan dalam bagian babad: kitab dongeng?namun, sayang sekali karya C.C.Berg yang berjudul Oavaanche geschiedschrijving yang terbit di Amsterdam tahun 1938. Tidak dimunculkan sehingga gambaran mengenai penulisan sejarah di pulau jawa menjadi agak terabaikan.
Terlepas dari ketidaksempurnaannya, harus diakui bahwa buku pertama seorang “yogi buku” ini merupakan karya yang memikat. Bahkan cara dan gaya pengungkapannya, dalam kadar tertentu, telah memberikan sentuhan sastra yang cukup enak dinikmati. Kita menantikan karya berikutnya.

Klik disini untuk melanjutkan »»

Sabtu, 19 Maret 2011

mulai lagi

. Sabtu, 19 Maret 2011
0 comments

sobat setelah sekian lama fakum dari dunia menulis di blog kini saya ingin kembali aktif dalam dunia blogger.walaupun agak lama tetapi keinginan ini tidak akan pernah berubah.banyak hal yang ingin saya bagi kepada kalian perihal pengalaman saya di dunia pendidikan walaupun belum banyak,mungkin tak sebanyak mereka yang sudah berjibaku dengan dunia ini bertahun-tahun.mulai dari sinilah saya ingin berbagai agar pendidikan kita semakin maju, karena sebenarnya pendidikan kita sudah berkembang pesat namun yang dibutuhkan hanya satu yakni generasi penerus yang masih peduli dengan dunia ini.

Klik disini untuk melanjutkan »»